28 Mei 2009

Suara Hati

Seperti hujan.....
Kau menyejukan hatiku....

Seperti Mentari ....
Kau menghangatkan jiwaku...

Seperti mentari....
Kau menghangatkan jiwaku....

Seperti Air....
Kau memberikan kehidupan pada ragaku....

Dan Seperti Hadiah....
Aku ingin membuatmu
TerSenyum Bahagia....

Melalui pesan iniingin kusampaikan.....
Aku Mencintaimu......

Memaafkan diri sendiri

Terkadang stress bukan datang dari faktor luar, tapi dari dalam diri sendiri.
Seperti ketika kita melakukan sebuah kesalahan dan merasa bersalah terus karenanya.
Rasa bersalah yang terus-menerus kita rasakan akan membuat diri kita selalu dihinggapi ketakutan.

Takut berbuat kesalahan lagi dan kehilangan kepercayaan diri.
Ketidakmampuan kita untuk memaafkan diri sendiri bisa menjadikan kita terhenti.
Kita yang akan terus terbeban karena perasaan bersalah itu membuat kita sendiri tidak bisa maju dan melanjutkan hidup.
Yang jelas, walaupun kita merasa bersalah, kita tidak perlu terus-menerus menghukum diri sendiri. Dr. Phil McGraw, psikolog Amerika mengatakan bahwa kita punya pilihan:
* Kita bisa menjadi orang yang menyedihkan karena memikirkan rasa bersalah itu terus-menerus,
* atau kita mengijinkan diri sendiri untuk sembuh dan mencoba menjadi pribadi yang lebih baik.

Ada beberapa cara yang bisa diikuti untuk berdamai dengan diri sendiri:

Langkah Pertama:

Bukalah Hati Dan Pikiran Ketika sedang dihadapkan pada suatu pengalaman pahit, entah karena diri sendiri atau orang lain, pikiran dan hati kita akan tertutup untuk menghindari akan disakiti lagi,Cobalah buka diri kita kembali dengan melihat apa yang sebenarnya terjadi dan yang kita alami,Katakan pada diri sendiri, "Saya bersedia mempertimbangkan bahwa ada jalan lain untuk menghadapi masalah saya daripada menutup hati dan diri saya."

Langkah Kedua:
Berikan Pilihan Kepada Diri Sendiri Untuk Kembali
MencintaiRasa bersalah adalah istilah yang kita berikan untuk menampung semua yang jelek dan negatif dari yang pernah kita lakukan.Satu cara yang cukup ampuh dan menghindari rasa bersalah berkepanjangan adalah penyangkalan.Jika Anda terus membenci diri sendiri dan tidak bisa mencintai diri sendiri, maka kita tidak akan bisa menyembuhkan diri sendiri.

Langkah Ketiga:
Hadapilah Rasa Bersalah Dan Cobalah MemahaminyaKebanyakan orang beranggapan bahwa rasa bersalah kita adalah karena kita kehilangan orang yang kita kecewakan.Well,.. bukan hak kita melarang dia. Dia sudah memaafkan kita, dan dia harus menghadapi rasa terlukanya dengan caranya sendiri.
Kita pun juga begitu, jangan terus menyalahkan diri sendiri. Hadapi rasa bersalah dengan memahaminya.Memahami setiap konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan dan hadapi itu.

Langkah Keempat:
Ijinkan Diri Sendiri Untuk Menyembuhkan Diri Rasa bersalah bukan berarti kita tidak layak untuk berubah.Memaafkan diri sendiri juga berarti kita berhak untuk tidak dihukum selamanya.Menghukum diri terus-menerus bukan jalan keluar yang baik dan benar dan itu juga tidak akan mengubah kita menjadi pribadi yang lebih baik.
Jika kita tetap menyimpan rasa bersalah, maka kita pun akan takut melakukan sesuatu untuk merubah diri ke arah yang lebih baik.

Langkah Kelima:
Buatlah Suatu Hubungan Baru
Jika diri kita tidak sanggup memaafkan diri sendiri,berarti selama ini kita hanya mengharapkan sesuatu yang tidak nyata dengan kata, "Kalau saja..." dan itu tidak akan pernah selesai.
Kita harus terus melanjutkan hidup. Sekali kita memutuskan untuk terus, kita harus membina hubungan baru dengan diri sendiri.

Pemimpin yang Sempurna

by: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Isu mengenai kepemimpinan selalu menarik.
Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang pimpinan perusahaan yang oleh teman-temannya disebut sebagai ”orang besar”.
Beliau sangat berhasil, banyak teman, aktif dan ’terpandang’ di kalangan organisasi profesinya
dan sangat pandai menggolkan proyek jutaan US dolar.

Ketika beliau berkesempatan untuk meninjau kembali gaya kepemimpinannya
dan membandingkan kekuatan dan kelemahan dengan koleganya,
sesama pimpinan perusahaan tersebut, ada yang berkomentar,
”Bapak tuh rabun dekat, sementara teman Bapak rabun jauh”.
Maksudnya, beliau sangat visioner, berpikiran jangka panjang,
sementara koleganya lebih memperhatikan detil yang ada di depan mata.
Lah, kalau para pemimpin di perusahaan itu ’rabun’ semua, kok perusahaan bisa sehebat itu?

Harapan terhadap seorang pemimpin ideal memang banyak sekali.
Saking banyaknya sehingga bahkan bisa berbentuk mitos,
karena hampir tak pernah kita lihat terealisasi.

Ada pemimpin yang pada tahap awal kepemimpinannya memunculkan konsep-konsep baru dan cemerlang,
tetapi selanjutnya tidak mampu mengontrol situasi.

Ada pemimpin yang kita tahu sebagai “slow starter”,
sehingga setelah lama menjabat terasa tetap tidak melakukan “perbedaan” atau perbaikan keadaan.
Tampaknya memang jarang terealisasi ada pemimpin yang mendekati kriteria ”sempurna”;
”No one person could possibly stay on top of everything”.

Pemimpin juga Manusia
Kita tampaknya memang sudah perlu berganti ”mindset” dan realistis melihat bahwa kepemimpinan memang sulit.
Adanya pemimpin akan memudahkan situasi, karena si pemimpin sekedar sedikit lebih pintar,
bijak, dan ber-”power” untuk menemukan dan menggerakkan ”expertise” anak buah,
menggambar dan menjual visi yang realistis, menggalang tim untuk menghasilkan ide dan solusi baru,serta menggerakkan teman – temannya agar menjalankan upaya menuju sasaran bersama
dengan penuh komitmen.

Mau tidak mau, seorang pemimpin tidak bisa ”menggarap” semua hal dengan kongkrit.
Di lain pihak, paling tidak ia bisa memberdayakan kekuatan,
memanfaatkan dan mengembangkan sumberdaya yang ada di areanya.

Pemimpin adalah manusia biasa yang tidak sempurna, tetapi dengan ”terpilihnya” ia sebagai pemimpin,ia perlu menjadi manusia yang paling tidak bisa mendobel kekuatan timnya berdasarkan semua kekuatandan sumberdaya yang ada.

Dalam keterbatasannya ia tetap perlu menjadi “the flawless person at the top who’s got it all figured out”.

Inpestasu pada wawasan dan keterampilan

Kita tidak bisa tampil sebagai seorang yang lamban, sulit diajak berkompromi, keras kepala dan merasa bahwa kita sudah ”mumpuni”.
Sikap seperti itu adalah sikap dari profesional yang sudah akan lengser. Kita perlu tampil sebagai seorang yang terbuka, mau belajar dan bisa menyerap setiap isu dengan cepat.

- Cari Cara Kilat Perluas Wawasan : Bangun habituasi membaca dan optimalkan jaringan web untuk mencari tahu hal yang selama ini tidak ada sumbernya.
Gunakan teknik speed reading seperti scanning dan skimming, untuk menyerap bacaan dalam waktu singkat,
mengingat banyaknya materi bacaan sehubungan dengan industri dan profesi yang kita tekuni tidak bisa kita cerna semuanya.
Paksakan diri untuk mengingat dan mengotak atik data dan fakta karena sampai kapan pun seorang profesional perlu fakta dan data bila ingin mengambil keputusan
atau memecahkan masalah.

- Kuasai ”Soft Skill” melalui Mentor: Cara-cara komunikasi, negosiasi, persuasi memang bisa dibaca di buku.
Namun, cara yang paling baik adalah mem-”benchmark” langsung dari orang di sekitar kita.
Saya belajar untuk bersabar, dari tukang kebun saya, sebaliknya belajar ”memasang kuping”, meningkatkan kepekaan pendengaran dari si DJ putra tercinta.

Investasi pada Ketrampilan Manajerial
Ketrampilan manajerial tidak sama dengan ketrampilan teknis. Padahal inilah cikal bakal ketrampilan menuju jenjang manajemen top.
Satu-satunya jalan adalah mengambil kesempatan untuk belajar memimpin kelompok, mempraktekkan teknik-teknik manajerial,
dan menggunakan alat-alat manajemen seperti agenda, perencanaan, laporan, lembar kontrol dengan displin ketat sehingga cara kerja manajerial ini menjadi kebiasaan baru.

Hal yang juga kerap dianggap sepele adalah pengelolaan manusia.
Hanya melalui komunikasi efektif-lah seseorang bisa membuat orang lain bergerak, bekerja bahkan berkinerja.
Untuk itu latihan melakukan negosiasi, briefing, coaching dan counseling harus dikuasai sedini mungkin.
Hanya dengan ketrampilan inilah seseorang bisa menguasai teknik teknik ”bekerja melaui tangan orang lain” .

Investasi pada Portfolio Sosial
Ada professional yang bila ditanyai berapa relasi yang dia ingat, di dalam maupun di luar perusahaan, hanya bisa menghitung sampai angka 20.
Bandingkan dengan profesional yang mempunyai ratusan relasi, keluarga, kerabat, tetangga, teman, atasan, manajemen top.
Portofolio sosial kita terdiri dari bukan orang yang kita kenal, tetapi orang yang kenal dan mengingat kita.

Investasi pada Perangkat Kerja
Kita perlu bisa diakses dan perlu berkomunikasi diluar waktu kerja biasa.
Sudah tidak jamannya lagi, kita dengar seorang beralasan: “ oh telpon saya low bat “
Bisa saja orang berkomentar terhadap sikap kita: ”Masakan mengelola batere satu telpon saja tidak bisa...”.
Mengoptimalkan fungsi ponsel, komputer, dan perangkat kerja lainnya merupakan suatu keharusan.

Investasi pada Kebugaran Diri
Sediakanlah waktu yang cukup untuk berolahraga, menjaga asupan makanan, menjalani dengan baik pola hidup sehat.
Demi kebugaran jiwa, ciptakan waktu untuk berkontemplasi, merenung dan menjalankan ibadah sehingga menjadikan diri kita bugar jiwa bagaikan batere yang di ”charge” kembali.

Mulailah berinvestasi pada diri sendiri, maka orang lainpun tidak akan ragu berinvestasi pada kita.
__________________

Pendidikan yang Holistik

Standar ujian nasional sedang menjadi topik diskusi hangat antara pemerintah dan DPR. Bahkan Komisi X DPR mendesak pemerintah merevisi PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pertentangan antarpasal yang tidak sesuai dengan sistem pendidikan nasional serta adanya kesenjangan mutu pendidikan antardaerah adalah dua alasan mendasar di
balik desakan revisi itu (Kompas Online, 11/5/2006). Perdebatan itu menambah panjang deret ketidakstabilan sistem pendidikan nasional.



Paradigma pendidikan

Meski pemerintah harus bertanggung jawab atas mutu pendidikan nasional, pihak yang paling tahu tentang mutu dan kemampuan anak didik adalah pendidik. Dengan demikian, tugas dan hak pendidiklah untuk memberi penilaian. Penetapan standar nasional untuk kelulusan mengandaikan mutu pendidikan di tiap daerah sama. Kenyataannya, masih ada jurang perbedaan antara proses pendidikan di kota dan desa, bahkan antarprovinsi dan pulau.



Penetapan batas minimal kelulusan 4,5 memberi gambaran, pemerintah memandang proses pendidikan hanya sebagai transfer ilmu pengetahuan yang bisa mudah diukur dengan angka. Penetapan itu mereduksi makna pendidikan sebagai sebuah proses pematangan pribadi mencakup pengembangan, kognisi, afeksi, mental, dan kepribadian.

John Dewey dalam buku Education and Democracy (1916) telah mendengungkan konsep pendidikan integral berdasarkan pada kemampuan, kebutuhan, dan pengalaman peserta didik. Pendidikan yang berbasis realitas dan pengalaman anak didik sebenarnya bentuk perlawanan dan kritik pada pola-pola pendidikan tradisional yang hanya memindahkan ilmu pengetahuan masa lampau kepada tiap generasi baru.



Pendidikan tidak dimaksud sekadar mencetak orang yang pandai menghafal dan berhitung, tetapi melahirkan orang-orang berpribadi matang. Pendidikan tidak hanya tempat mengasah ketajaman otak, tetapi tempat menyemai nilai-nilai dasar kehidupan guna menggapai masa depan dan hidup bermasyarakat. Bangsa Indonesia amat membutuhkan sistem pendidikan seperti itu, terutama untuk melahirkan generasi muda yang tangguh dan bertanggung jawab, dan mampu memperbaiki kehidupan bangsa
ini.



Maka, kengototan pemerintah untuk tetap melangsungkan ujian dengan standar nasional, hanya karena ingin mendorong peserta didik bekerja keras, tidak akan memberi dampak positif berkelanjutan bagi kematangan dan kemandirian peserta didik. Bahkan standar itu tidak representatif sebagai titik acuan untuk mengetahui kualitas pendidikan bangsa ini.
Sementara revisi pasal-pasal PP No 19/2005, sebagaimana didesakkan DPR, tidak akan berarti bila tidak ada pembaruan dan rekonstruksi terhadap paradigma pendidikan.



Tugas pemerintah

Dalam konteks pendidikan holistik, pemerintah tidak perlu mengambil alih peran pendidik dengan menetapkan standar pendidikan sebab pemerintah tidak berhubungan langsung dengan peserta didik. Tugas pemerintah adalah menciptakan kondisi dan sistem pendidikan yang efektif, integral, dan mengembangkan pendidik maupun peserta didik.



Pertama, pemerataan infrastruktur dan suprastruktur pendidikan. Di banyak daerah sarana dan prasarana pendidikan amat memprihatinkan. Kurangnya tenaga pengajar di pedalaman, banyak gedung sekolah tak layak pakai, dan penggemblengan mental pengabdian pendidik, merupakan pekerjaan besar yang harus diprioritaskan dan dituntaskan pemerintah.
Amat tidak masuk akal bila pemerintah tiba-tiba menetapkan standar kelulusan secara nasional, sementara pembangunan dan pemajuan pendidikan masih amat parsial.



Kedua, perubahan sistem pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi. Perubahan ini amat memungkinkan pihak sekolah untuk bereksplorasi, baik dalam program maupun kurikulum yang benar-benar kontekstual, yaitu berdasarkan pada kebutuhan anak didik dan menyatu dengan budaya dan karakter setempat. Jadi standar penilaian terletak pada tingkat penambahan pengetahuan serta pengembangan kepribadian, seperti menghargai orang lain, menghormati perbedaan, kedisiplinan, serta bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.



Ketiga, proses pendidikan yang holistik juga menuntut adanya budaya belajar di kalangan masyarakat. Dengan demikian, proses pendidikan tidak dapat dikotakkan dalam pendidikan formal belaka, tetapi perlu dibuat sistem pendidikan berkesinambungan antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Proses pendidikan tidak dapat dipisahkan dari ritme kehidupan masyarakat sebab masyarakat menentukan proses pendidikan melalui nilai- nilai dan strukturnya. Sebaliknya pendidikan menyumbangkan nilai-nilai untuk perubahan masyarakat. Membangun budaya membaca di masyarakat bisa dijadikan titik berangkat untuk membangun budaya belajar ini.

Berkembang tidaknya sistem pendidikan bangsa, tidak terletak pada standar ujian nasional diberlakukan atau jadi tidaknya PP No 19/2005 direvisi, tetapi pada lahir tidaknya sistem pendidikan baru yang mengembangkan nilai- nilai hakiki kemanusiaan. Selama proses pendidikan tetap bermodel pengajaran, transfer ilmu, dunia pendidikan hanya melahirkan orang-orang pintar tetapi belum tentu benar, ahli tetapi belum tentu rendah hati, cerdas tetapi belum tentu bijaksana.

Harga Diri

Apakah harga diri atau self esteem itu? Coopersmith (Gilmore, 1974) mengemukakan bahwa: “….self esteem is a personal judgement of worthiness that is a personal that is expressed in attitude the individual holds toward himself. Pendapat ini menerangkan bahwa harga diri merupakan penilaian individu terhadap kehormatan dirinya, yang diekspresikan melalui sikap terhadap dirinya. Sementara itu, Buss (1973) memberikan pengertian harga diri sebagai penilaian individu terhadap dirinya sendiri, yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan. Merujuk pada kedua pendapat tersebut, maka harga diri dapat diartikan sebagai penilaian individu terhadap kehormatan diri, melalui sikap terhadap dirinya sendiri yang sifatnya implisit dan tidak diverbalisasikan.

Selanjutnya, Buss (1973) mengemukakan dua macam penilaian diri (self judgement) yaitu : (1) temporary dan (2) enduring. Penilaian diri temporary menunjuk pada perilaku khusus dan situasi tertentu. Contoh: “Hari ini saya bermain sepak bola jelek sekali”. Hal ini dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedangkan penilaian diri enduring lebih berpusat dan berkaitan dengan self yang mencakup hasil dari berbagai pengalaman hidup yang mendasar, seperti: afeksi dari orang lain dan prestasi yang dicapai.

Pada bagian lain Buss (1973) mengemukakan model harga diri yang terdiri dari core dan peripheral. Core lebih bersifat permanent dan terbentuk oleh adanya kasih sayang orang tua yang tulus dan faktor konstitusional. Sedangkan peripheral bersifat stable dan terbentuk oleh prestasi yang dicapai dan afeksi dari orang lain, yang merupakan kelanjutan dari afeksi dari orang tua, bisa berasal dari teman atau cinta kasih dari lawan jenis. Terkait dengan pembentukan harga diri ini, Maslow (Jordan et.al., 1979) mengemukakan bahwa: ”The feeling self esteem can be realistic if it is soundly based upon real capacity personal ablities, achievement, and efficiency.

Untuk lebih jelasnya tentang model harga diri dari Buss ini, dapat dilihat dalam gambar berikut:

harga diri

Harga diri individu mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perilaku yang ditampilkannya. Mc Dougall (1926) mengemukakan harga diri merupakan pengatur utama perilaku individu atau merupakan pemimpin bagi semua dorongan. Kepadanya bergantung kekuatan pribadi, tindakan dan integritas diri.

Rosenberg (Gilmore, 1974) mengemukakan karakteristik individu yang memiliki harga diri mantap yaitu memiliki kehormatan dan menghargai diri sendiri seperti adanya. Sebaliknya, individu yang memiliki harga diri rendah cenderung memiliki sikap penolakan diri, kurang puas terhadap diri sendiri, dan merasa rendah diri.

Harga diri merupakan salah satu kebutuhan penting manusia. Maslow dalam teori hierarki kebutuhannya menempatkan kebutuhan individu akan harga diri sebagai kebutuhan pada level puncak, sebelum kebutuhan aktualisasi diri. Dikemukakannya, …most normal people have a need for self respect or self esteem and the esteem of others (Jordan et.al., 1979).

Balnadi Sutadipura (1983) menyebutkan bahwa kebutuhan harga diri merupakan kebutuhan seseorang untuk merasakan bahwa dirinya seorang yang patut dihargai dan dihormati sebagai manusia yang baik. Hal senada dikemukakan Abdul Aziz Ahayadi (1985) bahwa kebutuhan harga diri sebagai kebutuhan seseorang untuk dihargai, diperhatikan dan merasa sukses. Dari kedua pendapat di atas dapat dimaknai, bahwa setiap individu normal pasti berharap dan menginginkan dapat merasakan hidup sukses, dihormati dan dihargai sebagai manusia.

Pentingnya pemenuhan kebutuhan harga diri individu, khususnya pada kalangan remaja, terkait erat dengan dampak negatif jika mereka tidak memiliki harga diri yang mantap. Mereka akan mengalami kesulitan dalam menampilkan perilaku sosialnya, merasa inferior dan canggung. Namun apabila kebutuhan harga diri mereka dapat terpenuhi secara memadai, kemungkinan mereka akan memperoleh sukses dalam menampilkan perilaku sosialnya, tampil dengan kayakinan diri (self-confidence) dan merasa memiliki nilai dalam lingkungan sosialnya (Jordan et. al. 1979)

Refleksi untuk saya dan Anda:

Berdasarkan uraian di atas ada refleksi buat saya dan Anda, bahwa:

Betapa pentingnya setiap orang untuk dapat membangun dan memenuhi kebutuhan harga dirinya secara realistik, melalui pengembangan segenap potensi yang dimilikinya hingga menjadi sebuah prestasi.

Orang tua dan guru memiliki tanggung jawab besar untuk dapat memenuhi kebutuhan harga diri anak (siswanya), melalui pemberian kasih sayang yang tulus sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar dan sehat, yang didalamnya terkandung perasaan harga diri yang stabil dan mantap. Disinilah, tampak arti penting peran orang tua dan guru sebagai fasiltator.
6


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and 2009 Bridal Dresses.